Aku Hanya Ingin Kembali….

4 05 2010

Ketika kecil, ibuku lah yang mengajarkan aku ilmu agama. Dengan begitu sabar, ibu mengenalkan padaku huruf demi huruf, baris demi baris ayat-ayat Al Quran. Ya, aku mulai mengenal bagaimana cara membaca huruf hijaiyah adalah dari ibuku, bukan melalui ustadz ataupun guru-guru ngaji di sekitar kampungku. Ketika itu aku masih anak-anak. Bahkan aku belum mulai mengenyam bangku sekolah. Setiap malam, tak bosan-bosannya ibu mengenalkan padaku firman-firman Alloh itu. Tentu dengan semangat aku mengikuti ‘pelajaran’ ibuku, pelajaran yang sudah lebih dulu dikenal oleh kakakku dan teman-teman yang lebih senior di kampungku.

Lambat laun, aku mulai bisa mengeja dengan lancar huruf-huruf arab itu. Mulai bisa membedakan mana huruf yang semestinya dibaca panjang, dan mana yang harus dipendekkan. Tak sabar untuk belajar lebih jauh lagi, aku pun meminta kepada ibuku untuk ikut belajar ngaji di rumah seorang ustadz di kampungku. Ya, sudah barang tentu kakakku dan teman-teman yang lain sudah gabung di tempat ngaji tersebut. Aku pun diterima oleh sang ustadz untuk mengaji di rumahnya. Karena aku sebelumnya sudah mengenal huruf-huruf hijaiyah dengan baik, aku tidak harus memulai dari awal lagi untuk mengaji di tenpat tersebut. Sang ustadz langsung mengikutkan aku kepada tingkatan anak-anak yang lebih dulu ngaji disana. Tentunya bacaanku sudah diuji terlebih dahulu oleh sang ustadz.

Waktu pun terus bergulir. Aku mulai bisa beradaptasi dengan lingkunganku yang baru. Banyak teman, banyak canda tawa, kadang banyak juga pertengkaran dengan teman-teman. Yah, namanya juga anak-anak, sekarang saling ejek, saling pukul, besoknya dah main bersama lagi.

Kalau diperhatikan, aku termasuk paling muda jika dibandingkan dengan teman-teman seangktanku. Hal ini karena memang aku masuk lebih akhir dibanding mereka. Tak ada masalah dengan kondisi ini. Dan aku pun bisa mengikuti ritme mereka. Eh salah, ternyata mereka yang lama kelamaan mengikuti ritmeku. Apa mungkin karena aku baru belajar ya, sehingga semangatku untuk belajar begitu menggebu-nggebu. Aku paling suka mengulang-ulang apa yang telah diajarkan sang ustadz kepadaku. Tak hanya sekali dua kali, bahkan berkali-kali. Sikapku ini yang membuat teman-teman merasa iri, hingga akhirnya mereka pun mengikuti apa yang aku lakukan. Kami saling berlomba-lomba siapa yang paling banyak mengulang-ulang pelajaran sang guru. Oh…jadi kangen masa-masa itu.

Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun aku belajar di rumah sang ustadz. Hingga tiba waktunya aku, secara hitungan juz, mengkhatamkan kitab suci Al Quran. Kenapa kubilang secara hitungan juz? Ya, karena jika ditinjau dari segi pemahamanku terhadap apa yang aku pelajari, tentu masih amat sangat  jauh dari paham. Aku hanya sekedar bisa membaca dan sedikit mengerti kaidah-kaidah dalam kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tersebut. Dan aku masih harus terus belajar lebih banyak lagi untuk bisa dikatakan khatam yang sebenarnya.

Kini aku telah menyelesaikan belajarku di rumah sang ustadz. Jika teman-teman yang lain keluar setelah menyelesaikan belajarnya, berbeda dengan diriku. Ibu terus mendorongku untuk tetap belajar dan sambil mengamalkan apa yang telah aku pelajari di rumah sang ustadz. Kata ibu, tidak cukup hanya sekali mengkhatamkan Al Quran. Aku harus terus menerus membaca Al Quran hingga bisa berulang-ulang mengkhatamkannya. Begitu pesan ibu kepadaku. Aku pun memutuskan untuk tetap belajar di rumah sang ustadz. Generasi demi generasi terus berganti. Hingga akhirnya tiba waktuku lulus SMA, aku harus meninggalkan tempatku belajar ilmu agama, yang telah aku ikuti dari kecil. Aku harus meninggalkannya, karena keadaan yang memaksaku untuk hijrah dari kampungku. Ya, aku harus menuntut pendidikan yang lebih tinggi ke luar kota, bahkan ke luar pulau. Ya, aku melanjutkan pendidikanku di salah satu pulau terbesar di Indonesia.

Kondisi yang lebih kondusif kutemui di tempat baruku. Aku bisa belajar lebih banyak ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dalam bermasyarakat. Secara tak sadar, kedewasaan pun lambat laun aku rasakan.  Aku mulai mampu bersosialisasi dengan baik dengan orang-orang di sekitarku. Pergaulanku pun semakin luas. Banyak kutemui teman-teman baru dengan karakter mereka masing-masing. Tak sedikit dari mereka yang dulunya juga memiliki kisah yang hampir sama dengan kisahku. Aku pun mulai bernostalgia dengan masa kecilku. Ya, ku ingat lekat-lekat masa-masa itu. Masa-masa yang menarik, paling tidak menarik bagi diriku sendiri.

Masa kecil, sekolah, kuliah, bekerja, ya, itulah fase kehidupan yang akan dialami oleh setiap orang. Termasuk diriku. Aku pun telah melalui ketiga fase yang pertama. Sekarang sedang kujalani fase yang keempat, fase bekerja. Ternyata banyak hal yang berbeda dalam fase ini, jika dibandingkan dengan fase-fase yang sebelumnya. Banyak warna-warna baru yang bermunculan, yang ternyata baru aku temui ketika memasuki fase ini. Pola hidup dan pola pikir seorang yang sudah bekerja ternyata jauh berbeda dengan pola hidup yang dimiliki oleh orang  yang belum memasuki dunia kerja. Paling tidak, aku sendiri yang merasakan hal ini. Jika sebelumnya aku harus berhemat untuk bisa makan, sekarang aku memiliki uang untuk bisa makan kapan saja. Ya, karena aku sudah bekerja. Aku sudah memiliki penghasilan sendiri. Rasanya,  keinginan apapun bisa aku penuhi.

Kehidupan pun serasa ikut berubah. Kehidupan metropolis dan hedonis mulai aku kenal ketika memasuki fase ini. Tak sedikit dari temanku yang telah memasuki comfort zone ini. Sehingga mereka sudah merasa nyaman dengan kondisi yang mereka dapatkan sekarang. Tanpa disadari, ternyat kondisi ini membunuh potensi diri. Ya, seakan mereka merasa cukup dengan kondisi mereka. Sehingga mereka tak perlu lagi melakukan hal-hal lain yang lebih berguna. Sungguh disayangkan, ternyata kondisi tersebut juga menjangkitiku. Aku mulai terbuai dengan kemalasan-kemalasan, tidak lagi belajar untuk menuntut ilmu dan merasa cukup dengan apa yang aku miliki. Apakah aku mulai bosan dengan keteraturan-keteraturan hidup? Apakah aku mulai jenuh untuk berbuat baik? Ternyata bukan. Aku sudah dikalahkan oleh nafsuku. Aku mulai diperbudak oleh nafsu. Jika terjatuh pada suatu hal yang dilarang, pikiran jelekku selalu mengatakan, “Ah..ga apa-apa, cuma dosa kecil, setelah itu kamu bisa bertobat, dan Alloh akan mengampuni dosa-dosamu”. Ya, pikiran-pikiran jelek itulah yang selalu muncul, sehingga mengalahkanku untuk menjauhi hal-hal yang dilarang. Banyak waktuku yang mulai terbuang dengan kegiatan-kegiatan yang tak bermanfaat. Banyak amalan-amalan sunnah yang mulai aku tinggalkan. Waktuku lebih banyak kuhabiskan untuk bermalas-malasan. Aku tidak lagi berkarya untuk hal-hal yang positif. Oh..betapa meruginya diri ini. “Demi masa, Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Melainkan orang-orang yang beriman dan yang beramal sholeh”. Betapa nistanya aku, jika aku termasuk orang-orang yang merugi. Itu artinya aku bukan termasuk golongan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang beramal sholeh.

Ighfirliy Ya Alloh…hamba tak seperti Yusuf, yang mampu takut kepadaMu ketika godaan yang begitu besar menimpanya. Hamba tak seperti Ayyub, yang begitu tabah dengan cobaan yang Engkau timpakan kepadanya. Hamba tak seperti Al Misky, yang dengan tenang melumuri tubuhnya dengan kotorannya sendiri untuk menolak ajakan berzina dari seorang wanita yang teramat cantik. Karena mereka lah orang-orang pilihanMu, Ya Alloh… Mereka orang-orang yang mengharapkan bertemu denganMu di bawah RidhoMu. Kuatkalah hati hamba Ya Alloh, untuk tetap lurus di jalanMu, untuk tetap mengikuti syariatMu.

Aku ingin kembali Ya Alloh…kembali pada kondisi kecilku dulu, kembali pada jalanMu yang lurus. Kembali bertobat kepadaMu.

dywa al faris